Pak Tani hidup berbahagia. Dia tinggal di desa, memiliki sebuah pertanian dan dikaruniai dua orang anak gadis yang cantik. Sesudah beranjak dewasa kedua anak gadisnya kemudian menikah dan tinggal bersama suaminya. Pak Tani merasa kesepian lalu suatu hari ia pergi mengunjungi dua anak gadisnya itu.
Pagi-pagi esok harinya ia mengunjungi
anaknya yang pertama. Ia ingin mengetahui keadaan anaknya itu.
“Anakku, bagaimana kabarmu?”
“Sehat Ayah! Maafkan saya belum
sempat menengok ayah sehingga datang jauh kemari!” jawab si anak.
“Baguslah kau sehat-sehat saja!
Bagaimana hidupmu dengan suamimu?”
“Kami hidup berkecukupan Ayah!
Pencaharian kami sangat baik apalagi jika hujan selalu turun dengan
lebat, kami akan hidup lebih berbahagia lagi!”
“Baiklah anakku!” lalu Pak Tani
berkunjung ke anaknya yang kedua.
“Anakku, bagaimana kabarmu?”
“Baik ayah. Bagaimana kabar ayah?
Sehat?” tanya anaknya yang kedua.
“Ayah sehat, baik-baik saja.
Bagaimana hidupmu dengan suamimu?
“Kami hidup berkecukupan Ayah!
Pencaharian kami sangat baik apalagi bila matahari selalu bersinar
dengan terik. Kami tidak mengharapkan apapun yang lebih baik dari
itu!”
“Baiklah anakku!” lalu Pak Tani
berjalan pulang ke pertanian.
Dalam perjalanan pulang Pak Tani
merenung sendiri. Anaknya yang pertama menikah dengan seorang tukang
kebun istana, tentu saja ia berharap sering turun hujan agar tanaman
yang dirawatnya tumbuh dengan subur. Anaknya yang kedua menikah
dengan seorang pembuat genting, tentu saja ia berharap matahari
selalu bersinar terik dan cuaca cerah sehingga gentingnya cepat
kering.
“Bagaimana aku harus mendoakan
kebahagian bagi dua puteriku ini, ya?” pikir Pak Tani kebingungan.
Terjemah bebas dari The Father and His
Two Daughters, www.aesopfables.com
Pesan dari cerita ini : kita tidak bisa membahagiakan
semua orang.