Tapi tiba-tiba semua berubah dalam
sekejap. Topan berkecamuk. Angin menderu-deru menampar-nampar layar.
Ombak bergulung-gulung setinggi pohon kelapa. Langit gelap ditutup
awan hitam yang mengeluarkan hujan deras mengguyur tiada henti.
Perahu terombang-ambing tidak berdaya, berada dalam cengkeraman badai
yang tiada ampun.
Perahu tak kuat menahan topan.
Lambungnya terbelah dua, lalu perlahan tenggelam dalam lautan yang
berwarna hitam. Serpihan kayu-kayu bertebaran di permukaan laut,
sisanya yang lebih banyak berada di dasar laut.
Badai mereda. Hujan berhenti. Udara
kembali hangat oleh matahari. Lautan kembali tenang seperti tak
terjadi apapun. Tak disangka, terapung di sepotong kayu, seekor
monyet berhasil selamat dari badai. Alangkah malangnya, monyet yang
biasanya bergelayut di pepohonan hutan, berjalan-jalan di daratan,
bertengger di pundak majikannya, sang pelaut, sekarang
terombang-ambing di tengah laut yang seolah tak bertepi. Dimana-mana
air. Kemanapun mata memandang yang terlihat hanya warna biru. Biru
tua warna lautan, biru muda warna langit. Si monyet meratap berputus
asa.
“Hai!” sebuah suara menyapanya.
Monyet bergidik ketakutan, siapa yang menyapanya di tengah lautan?
“Hai!” seru suara itu lagi,
“Lihatlah di belakangmu!”
Monyet menoleh ke belakang dan melihat
sebuah kepala muncul dari dalam air. Sebuah wajah menatapnya,
kulitnya licin berwarna abu-abu, matanya bulat bersinar riang, hidung
dan mulutnya panjang seperti botol.
“Siapa kamu?” baru pertama kali ini
monyet melihat makhluk seperti ini.
“Aku lumba-lumba. Aku melihat kamu
terapung di lautan ini sendirian. Aku dengan senang hati akan
mengantarmu ke pantai. Ayolah naik ke punggungku!” ajak lumba-lumba
dengan ramah.
Monyet sangat gembira mendengar ajakan
itu. Ia segera naik ke atas lumba-lumba dan memegang sirip
punggungnya erat-erat. Lumba-lumba pun baru pertama kali ini melihat
seekor monyet. Ia mengira monyet itu seorang manusia, dan manusia ini
berambut sangat gondrong, tumbuh bulu lebat di seluruh tubuhnya.
Lumba-lumba dengan cepat berenang
menuju pantai. Pantai terdekat ada di negeri Yunani, sebuah pantai di
kota Athena. Lumba-lumba berenang di permukaan air sambil menanggung
beban berat di punggungnya. Akhirnya mereka melihat daratan di
kejauhan.
“Kita sudah dekat dengan pantai,”
seru lumba-lumba. “Di depan kita adalah kota Athena. Dari sanakah
dirimu berasal?”
“Ya benar!” jawab monyet
sembarangan. Sifatnya yang jahil muncul lagi ketika ia merasa
kemalangan sudah lewat dari dirinya. “Bahkan aku adalah keturunan
dari bangsawan yang paling ternama di seluruh negeri ini.” Ia
bahkan berbohong membanggakan dirinya sendiri.
“Luar biasa!” seru lumba-lumba.
“Tentunya kamu tahu betul Piraeus,” tanyanya kemudian.
“Tentu saja!” monyet terus saja
berbohong, walaupun ia tidak tahu siapa itu Piraeus. “Aku kenal
baik sekali dengannya bahkan ia adalah kawan karibku!”
Mendengar jawaban si monyet,
lumba-lumba berenang lebih pelan, tiba-tiba ia menyelam ke dalam air.
Monyet yang masih berpegangan di sirip lumba-lumba gelagapan di dalam
air. Tak tahan harus menghirup udara untuk bernafas, ia melepaskan
pegangannya dan meronta-ronta di dalam air berusaha menuju permukaan.
“Nah, pembohong!” seru lumba-lumba.
“Sekarang berenanglah ke daratan. Piraeus kawan karibmu itu telah
menunggu di pantai!”
Tentu saja lumba-lumba merasa marah,
Piraeus bukanlah nama seseorang seperti sangkaan si monyet, tetapi
adalah nama pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar di kota Athena.
Terjemah bebas dari The Monkey and The
Dolphin, www.aesopfables.com
Pesan : yah tentu saja tidak baik untuk
berbohong, apalagi jika berbohong pada yang telah berbaik hati
menolongmu.