Halaman

Monyet dan Lumba-lumba

Sebuah perahu bajak laut berlayar di lautan. Kapal mengangkat sauh dari sebuah pelabuhan di pantai yang indah di utara benua Afrika. Awalnya perjalanan berlangsung tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi meninabobokan para penumpang. Matahari bersinar lembut penuh kehangatan. Permukaan laut bening dan rata seperti kaca yang tidak bertepi. Langit biru terhampar disulam awan-awan putih.
Tapi tiba-tiba semua berubah dalam sekejap. Topan berkecamuk. Angin menderu-deru menampar-nampar layar. Ombak bergulung-gulung setinggi pohon kelapa. Langit gelap ditutup awan hitam yang mengeluarkan hujan deras mengguyur tiada henti. Perahu terombang-ambing tidak berdaya, berada dalam cengkeraman badai yang tiada ampun.
Perahu tak kuat menahan topan. Lambungnya terbelah dua, lalu perlahan tenggelam dalam lautan yang berwarna hitam. Serpihan kayu-kayu bertebaran di permukaan laut, sisanya yang lebih banyak berada di dasar laut.
Badai mereda. Hujan berhenti. Udara kembali hangat oleh matahari. Lautan kembali tenang seperti tak terjadi apapun. Tak disangka, terapung di sepotong kayu, seekor monyet berhasil selamat dari badai. Alangkah malangnya, monyet yang biasanya bergelayut di pepohonan hutan, berjalan-jalan di daratan, bertengger di pundak majikannya, sang pelaut, sekarang terombang-ambing di tengah laut yang seolah tak bertepi. Dimana-mana air. Kemanapun mata memandang yang terlihat hanya warna biru. Biru tua warna lautan, biru muda warna langit. Si monyet meratap berputus asa.
“Hai!” sebuah suara menyapanya. Monyet bergidik ketakutan, siapa yang menyapanya di tengah lautan?
“Hai!” seru suara itu lagi, “Lihatlah di belakangmu!”
Monyet menoleh ke belakang dan melihat sebuah kepala muncul dari dalam air. Sebuah wajah menatapnya, kulitnya licin berwarna abu-abu, matanya bulat bersinar riang, hidung dan mulutnya panjang seperti botol.
“Siapa kamu?” baru pertama kali ini monyet melihat makhluk seperti ini.
“Aku lumba-lumba. Aku melihat kamu terapung di lautan ini sendirian. Aku dengan senang hati akan mengantarmu ke pantai. Ayolah naik ke punggungku!” ajak lumba-lumba dengan ramah.

Monyet sangat gembira mendengar ajakan itu. Ia segera naik ke atas lumba-lumba dan memegang sirip punggungnya erat-erat. Lumba-lumba pun baru pertama kali ini melihat seekor monyet. Ia mengira monyet itu seorang manusia, dan manusia ini berambut sangat gondrong, tumbuh bulu lebat di seluruh tubuhnya.
Lumba-lumba dengan cepat berenang menuju pantai. Pantai terdekat ada di negeri Yunani, sebuah pantai di kota Athena. Lumba-lumba berenang di permukaan air sambil menanggung beban berat di punggungnya. Akhirnya mereka melihat daratan di kejauhan.
“Kita sudah dekat dengan pantai,” seru lumba-lumba. “Di depan kita adalah kota Athena. Dari sanakah dirimu berasal?”
“Ya benar!” jawab monyet sembarangan. Sifatnya yang jahil muncul lagi ketika ia merasa kemalangan sudah lewat dari dirinya. “Bahkan aku adalah keturunan dari bangsawan yang paling ternama di seluruh negeri ini.” Ia bahkan berbohong membanggakan dirinya sendiri.
“Luar biasa!” seru lumba-lumba. “Tentunya kamu tahu betul Piraeus,” tanyanya kemudian.
“Tentu saja!” monyet terus saja berbohong, walaupun ia tidak tahu siapa itu Piraeus. “Aku kenal baik sekali dengannya bahkan ia adalah kawan karibku!”
Mendengar jawaban si monyet, lumba-lumba berenang lebih pelan, tiba-tiba ia menyelam ke dalam air. Monyet yang masih berpegangan di sirip lumba-lumba gelagapan di dalam air. Tak tahan harus menghirup udara untuk bernafas, ia melepaskan pegangannya dan meronta-ronta di dalam air berusaha menuju permukaan.
“Nah, pembohong!” seru lumba-lumba. “Sekarang berenanglah ke daratan. Piraeus kawan karibmu itu telah menunggu di pantai!”
Tentu saja lumba-lumba merasa marah, Piraeus bukanlah nama seseorang seperti sangkaan si monyet, tetapi adalah nama pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar di kota Athena.

Terjemah bebas dari The Monkey and The Dolphin, www.aesopfables.com

Pesan : yah tentu saja tidak baik untuk berbohong, apalagi jika berbohong pada yang telah berbaik hati menolongmu.