Halaman

Keledai dan Penggembala Tua

 Sore itu penggembala tua duduk di atas bukit. Penggembala tua duduk ditemani keledainya yang sedang merumput dengan nikmat di sebelahnya. Dari atas bukit itu ia bisa melihat ke segala penjuru dengan jelas. Padang rumput terbentang di utara. Di selatan tak habis-habisnya terhampar ladang gandum petani yang berwarna kuning keemasan. Sore itu benar-benar sore indah yang tenang. Bukit itu terasa tentram.


Ketentraman itu seketika sirna. Di padang rumput utara berlarian pasukan musuh, maju menerjang ke arah bukit sembari mengacungkan senjata. Penggembala tua melompat dari duduknya dan hendak berlari menuruni bukit ke arah selatan.
“Keledai! Cepat lari! Musuh sedang mendekati kita!” penggembala tua berteriak panik.
“Keledai! Ayo cepat! Sebentar lagi musuh akan menangkap kita!”
“Keledai!!!” Penggembala tua semakin panik, apalagi keledainya masih saja terdiam menikmati rumput. “Keledai! Ayo! Dasar keledai pemalas!”
Keledai diam saja, lalu ia mendongakkan kepalanya dan menjawab dengan malas, “Tuan! Apakah kalau aku ditangkap mereka itu, aku akan disuruh mereka untuk mengangkut karung tepung dua kali lebih berat dari biasanya seekor keledai mengangkat beban?”
“Tentu saja tidak!” kata si penggembala tua.
“Yah, kalau begitu tenang saja, tuan! Siapapun yang berkuasa, nantinya aku tetap bekerja mengangkut karung tepung di punggungku,” keledai menjawab kalem. “Sama saja toh?”

Pesan : seringkali untuk rakyat biasa, siapapun yang berkuasa tidak ada bedanya.

Terjemah bebas dari The Ass and the Old Sepherd, www.aesopfables.com