1. PELAJARAN MORAL MASA KECIL
Apa pelajaran moral masa kecil yang selalu saya ingat?
- Saya ingat ketika saat itu saya belum bersekolah, masih balita, ibu mengurung saya di luar rumah dan membiarkan saya menangis meraung-raung. Saya dihukum karena tidak menurut perintah ibu. Tidak taat aturan = hukuman. Saya selalu ingat "kebenaran" pelajaran ini.
- Saya mendapat pelajaran moral, "baik" dan "buruk" yang sederhana dari nasihat dari ibu. Nasihat ibu seperti ini, "Kalau hidup ingin selamat, jangan berbuat 5M! Ingat itu!" Dan hingga kini saya masih meyakininya sebagai "kebenaran".
Jangan Minum = tidak minum minuman keras memabukkan,
Jangan Maen = tidak bermain judi apapun bentuknya,
Jangan Madon = tidak main perempuan,
Jangan Maling = tidak mengambil hak orang lain,
Jangan Muja = tidak percaya pada dukun, jimat dan sejenisnya.
- "Kalau makan, jangan disisakan satu butir nasi pun!" itu nasihat nenek. Dan suatu ketika saya menonton film tentang perang Vietnam. Satu adegan menggambarkan seorang serdadu Amerika yang putus asa berlutut di tengah padang rumput sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. Ia ditinggalkan oleh pasukannya di tengah-tengah kepungan tentara Vietcong, padahal ia hanya beberapa langkah lagi dari helikopter penyelamat. Pikiran kanak-kanak saya membayangkan satu butir nasi itu sebagai si serdadu yang ditinggal sendiri. Dan sejak itu tidak pernah saya sengaja membiarkan satu butir nasi pun tersisa di piring saya. Sejak saat itu melakukannya adalah hal yang "benar" dan tidak melakukannya adalah "salah", dan jika saya melihat makanan dijadikan dihamburkan atau dijadikan alat permainan, saya selalu berpikir, "What's wrong with this guys?"... ada yang salah dengan orang-orang ini! Boros adalah kejahatan berat! Laksana meninggalkan seorang serdadu di medan pertempuran.
- Ibu melarang saya jajan es puter di depan sekolah. Saya berkata, "Baik Mah!", hingga suatu hari saya benar-benar ingin menikmati es krim lalu cepat-cepat membelinya, toh ibu tidak akan tahu. Tapi pada saat itu, di luar kebiasaannya, tak disangka-sangka ibu datang ke sekolah. Mengetahui pelanggaranku, ibu berkata begini, "Kalau kamu tidak jujur, cepat atau lambat ibu pasti tahu!" Yah, saat itu aku yakin "berbuat curang, cepat atau lambat pasti ketahuan".
- Salah satu kebiasaan saya adalah makan yang paling enak terakhir. Kalau saya makan bakso, maka saya makan sayur dan mienya dahulu, dan terakhir saya makan baksonya. Ini adalah kebenaran yang saya pelajari sendiri, "Save the best for last!" "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Penting bagi saya untuk mendapat happy ending.
- "Jangan mencontek!" "Jangan membolos." "Jangan terlambat". Pelajaran dari sekolah. Entah kenapa saya segera mengakuinya sebagai "kebenaran", dan berbuat sebaliknya adalah "salah" : mencontek itu salah, bolos itu salah, terlambat itu salah. Dan hingga saat ini saya memiliki perasaan bersalah jika melakukan tiga hal tadi. Mungkin karena saya percaya "tidak taat aturan = hukuman".
2. PENGALAMAN HIDUP
- Mendidik adalah menanam kebaikan dan mengubur keburukan, tapi dunia di luar sana kadang menampilkan sebaliknya. Waktu kecil saya menemukan banyak hal seperti ini : tidak taat aturan tapi tidak mendapat hukuman; teman bertaruh kecil-kecilan; murid mencontek dan membolos; bermain curang dan tidak ketahuan; berbohong tapi tidak dihukum; belajar keras tapi nilainya jelek; dan banyak hal lainnya.
- "Kalau sembahyang jarang-jarang, sekalian saja tidak usah sembahyang sama sekali!" begitu kata guru agama saya di SMP. Dan inilah pertama kalinya saya mengerti bahwa guru juga bisa "salah". Untuk pertama kalinya, saya tidak setuju dengan "kebenaran" versi guru. Mungkin pada saat inilah saya beranjak dari seorang anak yang menerima apa adanya menjadi seorang remaja yang mulai mempertanyakan aturan, tata tertib, dan nilai-nilai.
- Dahulu, untuk mahasiswa baru, ada yang namanya ospek, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Para mahasiswa senior memperkenalkan lingkungan baru bernama kampus. Mahasiswa junior (termasuk saya) diajari bagaimana seharusnya bertingkah laku sebagai seorang MAHA siswa. Tinggalkan sifat naif, lugu, pemalu, semau gue ala pelajar SMA. Mereka harus mulai bersikap kompak, disiplin, berani, kritis ala mahasiswa. Oleh karena itu mahasiswa junior mendapat didikan para seniornya : memakai atribut yang aneh-aneh, melakukan sesuatu yang bikin malu, hukuman fisik untuk tindak indisipliner, dengan tujuan menjadi berani dan disiplin. Pelajaran yang diabaikan adalah untuk bersikap kritis. Mahasiswa junior seperti kerbau dicocok hidung mau saja diperlakukan seenaknya oleh senior mereka, melawan aturan senior berarti hukuman (verbal dan fisik, dimaki-maki dan push up). Dan hal ini berlangsung turun temurun. Mahasiswa junior (yang pernah merasakan penderitaan) pada tahun berikutnya menjadi mahasiswa senior (yang membuat penderitaan), dan mereka secara sadar melanjutkan ritual tahunan itu, melakukannya untuk "kebaikan yang lebih besar" ..."for the greater good". Saya belajar hal buruk bisa dibiasakan, menjadi kebiasaan, dilakukan berjamaah, dan akhirnya dianggap kebaikan.
- Semasa menjadi mahasiswa, kegiatan rutin adalah mengikuti kuliah, ujian, dan praktikum. Praktikum cukup menjadi momok bagi mahasiswa, karena lulus praktikum menjadi syarat lulus mata kuliah, dan dalam satu waktu yang berdekatan mahasiswa seringkali harus mengikuti beberapa praktikum. Dalam praktikum, setumpuk teori kuliah akan coba dipraktekkan. Data dikumpulkan, diolah, dibuat laporan, dan dipresentasikan di hadapan sekelompok asisten dosen, dan berdoalah agar tidak "dibantai" . Waktu terbatas, tugas menumpuk. Suatu bencana jika data yang dikumpulkan setelah diolah ternyata tidak sesuai dengan teori. Salah mencatat data atau teorinya yang salah? Teori adalah hasil pemikiran ilmuwan pintar yang "benar", diajarkan kepada mahasiswa yang "belajar pintar", oleh karena itu pasti datanya yang salah. Mulailah saya (atau mungkin kami para mahasiswa) belajar memanipulasi data agar sesuai dengan teori, belajar untuk tidak jujur. Kami belajar untuk tidak jujur untuk "kebaikan yang lebih besar" yaitu lulus mata kuliah ..."for the greater good". Saya belajar hal buruk bisa dibiasakan, menjadi kebiasaan, dilakukan berjamaah, dan melakukannya tidak begitu merasa bersalah.
- Last but not least, tugas akhir mahasiswa adalah membuat karya ilmiah yang dinamakan skripsi. Mahasiswa tingkat akhir harus mampu menggunakan ilmu yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam dunia nyata. Dalam karya ilmiahnya mahasiswa harus mengindentifikasikan masalah, menjelaskan maksud penelitiannya, mencari landasan teori dan hipotesis, dasar keilmuan untuk memecahkan masalahnya, melakukan penelitian (pengumpulan data), dan terakhir menjelaskan hasil penelitian dalam sebuah sidang terbuka yang dihadiri dosen pembimbing dan penguji. Beberapa rahasia umum dalam skripsi : masalahnya fiktif alias rekayasa, copy paste dari skripsi lain alias plagiat, data penelitian palsu atau dimodifikasi, skripsi dibuat oleh orang lain. Berlaku curang untuk "kebaikan yang lebih besar" yaitu lulus menjadi sarjana ..."for the greater good". Yang penting adalah gelar sarjana, ijazah, sertifikat. Bungkus seringkali lebih penting daripada isinya, penampilan lebih penting daripada manfaatnya.
- Di SMA semua murid harus memilih ekstrakurikuler, bergabung dengan beberapa kelompok murid lainnya yang memiliki minat sama. Saat itu saya memilih bergabung dengan Dewan Keluarga Masjid (DKM) sekolah. Nah, pelajaran apa yang saya dapat dari sini? Ada kegiatan rutin yang disebut pengajian, mengkaji suatu hal lalu didiskusikan. Saya ingat samar-samar pengajian pertama saya, dibimbing oleh seorang kakak kelas yang disebut mentor. Kegiatannya disebut dengan "mentoring". Mentoring tersebut bertema "konsep kebenaran". Konsepnya (sesuai ingatan saya sewaktu remaja) adalah begini :
Jika ada dua orang punya pendapat bertentangan tentang satu masalah, dan keduanya mengaku pendapatnya yang benar, maka kesimpulannya : pasti hanya satu orang yang benar... atau kedua-duanya salah! Jadi mana yang benar? Beda kepala beda pendapat. Jika ada jutaan kepala dan ada jutaan pendapat tentang satu hal yang sama, lantas pendapat siapa yang benar? Apa semuanya salah? Paling tidak, pendapat siapa yang paling mendekati kebenaran? Apakah kebenaran itu "relatif"?
Jika semua orang punya "kebenaran" masing-masing, jika "kebenaran" itu relatif, maka yang terjadi adalah kekacauan. Logis harus ada hukum yang adil untuk menegakkan "kebenaran", untuk menjaga ketertiban hidup. Hukum ini seharusnya berlaku untuk semua manusia, berlaku kapan saja tak terbatas waktu. Hukum ini sudah seharusnya tidak berubah-ubah.
Apakah ada hukum yang semacam ini? Hukum buatan manusia sudah pasti akan "terkontaminasi" oleh pendapat manusia pembuat hukumnya. Beda pembuatnya, beda hukumnya. Oleh karena itu keadilan itu logisnya tidak ditentukan oleh hukum manusia, tapi hukum di luar manusia, Hukum Tuhan.
Hukum tuhan yang mana? Keadilan Tuhan tentu tidak terbatas waktu, berlaku dari awal zaman hingga akhir zaman, tidak akan berubah ubah. Adakah hukum yang demikian? Nah, dari sinilah mentor saya menyelipkan doktrin tentang agama, tata tertib peraturan Tuhan. "Agama manakah yang diperuntukkan untuk semua manusia? Agama manakah yang mengatur seluruh segi kehidupan manusia, bukan hanya masalah ketuhanan belaka? Agama manakah yang memiliki kitab suci yang benar-benar suci, tidak pernah berubah isinya dari dahulu hingga saat ini? Agama mana yang benar?"
Jawabannya adalah Islam. Islam meliputi semua peri kehidupan manusia : hubungannya dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungannya dengan sesama manusia, hubungannya dengan alam semesta. Rasulullah Muhammad SAW adalah pembawa pesan Tuhan untuk seluruh umat manusia. Beliau merupakan suri teladan, contoh bagaimana manusia seharusnya berperilaku. Kitab sucinya adalah Al-Qur'an. Sejak diturunkan hingga kini Al-Qur'an terjaga keasliannya, walaupun telah dicetak ratusan juta kali dalam berabad-abad. Perubahan sengaja atau tidak, selalu dikoreksi oleh jutaan penghapal Al-Qur'an.
Saat itulah saya mulai melek dengan agama. Saya mulai menerima Islam sebagai kebenaran. Pengalaman masa lalu pasti sangat berpengaruh sehingga saya dengan mudah menerima pendapat mentor saya sebagai kebenaran.
- Setelah mentoring di SMA itu, saya seolah-olah mendapat pencerahan. Semangat saya menyala-nyala dengan "kebenaran". Semangat menggebu-gebu untuk menyampaikan "kebenaran". Salah satu sasaran saya adalah kawan sekelas saya, seorang aktivis beda agama. Kami berdebat, dan hasilnya adalah ...tidak ada hasil, alias status quo. Saya berdakwah tanpa ilmu cuma dengan nafsu. Saya berdakwah karena kesombongan saya, bahwa "kebenaran" saya lebih benar daripada "kebenaran" miliknya. Motif penyampai "kebenaran" kadang bukan untuk kebaikan.
- Sebenarnya orangtua saya cukup "sekuler", saya tidak dipaksa untuk bersembahyang, yang penting bagi mereka adalah saya selalu berbuat baik. Saya belajar mengaji sejak kecil tapi cuma belajar mengucapkan dan tidak belajar untuk mengerti artinya. Saya belajar agama di sekolah, tapi hanya untuk kebaikan nilai rapor. (yang cukup memalukan) Dahulu saya taat beribadah 5 kali sehari karena nafsu (saya rajin sembahyang mulai SMP ketika terpukau melihat seorang gadis berambut panjang berwudhu di mushola). Ada yang beragama tapi tidak beriman, tunduk tapi tidak percaya, mengerti tapi tidak melakukan.
- Contoh paling nyata "beragama tapi tidak beriman" adalah diri saya sendiri. Dalam Islam ada aturan sangat keras melarang minuman memabukkan, dan apa yang saya lakukan? Saya adalah petugas pembelian di sebuah perusahaan yang 20% omsetnya adalah dari minuman keras. Tidak tanggung-tanggung saya pernah bekerja selama 5 tahun. Saya sangat mengerti aturan agama tentangnya, tapi pendidikan selama 30 tahun seolah tidak ada bekasnya, kalah oleh takut kehilangan. Takut kehilangan mata pencaharian, takut kehilangan sumber membayar cicilan, takut kehilangan status, takut kehilangan keluarga, takut kehilangan pasangan hidup. Harta, tahta, wanita bisa membuat gelap mata.
APA BERIKUTNYA?
Pelajaran tentang kebaikan bisa diperoleh dari siapa saja, di mana saja, kapan saja. Tidak dibatasi usia tua atau muda, seagama atau tidak, dari dakwah atau dongeng anak. Terima dan sampaikan. Semua orang pada akhirnya akan menemukan kebenaran masing masing.
Hati nurani saya menerima Islam sebagai agama yang benar. Akhir yang bahagia penting bagi saya. Dan "the end" bukanlah saat kematian. Sebaliknya kematian adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya. Akhir yang bahagia bukanlah di dunia ini, tapi setelahnya.
Saya akan belajar lagi, mengulang lagi pelajaran kebaikan. Saya tidak akan cuma tahu dan mengerti. Dan sekarang saya akan mulai MELAKUKAN! Hidup saya sudah banyak disia-siakan. Tak terasa usia sudah mendekati lima windu, tapi di usia itulah Muhammad SAW memulai tugas mulia.
Saya telah memulainya dengan meninggalkan pekerjaan, tertatih-tatih untuk mencapai akhir yang bahagia.
Mulai mengingat apa yang dilupakan,
Mulai melakukan apa yang akan disampaikan,
Mulai melangkah menuju kebaikan,
Mulai sejak saat ini untuk melakukan hanya kebaikan,
Raqim,
Riki Kurniawan bin Nana Ratman
(Abu Zarkasya, Abu Faizan, Abu Fadhilah)