Sepanjang jalan mereka bercakap-cakap dengan riang. Monyet seorang yang periang. Ia gemar bercerita. Perjalanan yang panjang itu menjadi tidak membosankan. Hanya sayang, ia senang sekali membual. Ia senang membuat cerita bohong dan membesar-besarkan berita untuk membanggakan dirinya.
Tak terasa mereka telah keluar dari hutan. Rubah dan monyet berjalan menembus semak di padang rumput. Mereka hampir tiba di ladang Pak Tani. Di kejauhan, di tepi padang rumput, tampak sebidang tanah datar yang dibatasi pagar rendah. Di tengah-tengahnya tumbuh pohon beringin yang besar sekali dan di sekeliling tanah itu tumbuh pohon-pohon kemboja.
Mereka berjalan semakin dekat, dan tampaklah di balik pohon bangunan-bangunan dari batu dan marmer. Belasan bangunan seperti tugu peringatan bertebaran di tanah itu.
"Kamu lihat monumen-monumen yang megah ini!" monyet memalingkan wajahnya pada rubah. "Semuanya dibangun untuk mengenang kehebatan nenek moyangku, warganegara yang terkenal karena kemasyhurannya." Ia menunjuk-nunjuk bangunan-bangunan itu dengan membusungkan dada.
Rubah tertawa mendengarnya, "Kali ini kau sangat pintar berbohong! Aku tidak bisa lagi menanyakan kebenaran ceritamu tentang tugu-tugu ini pada nenek moyangmu." Sepanjang jalan ia terkekeh-kekeh tak ada habisnya, menertawakan kebodohan monyet yang mencoba membohonginya dengan nisan-nisan kuburan di pemakaman tadi.
Terjemah bebas dari : The Fox and the Monkey, www.aesopfables.com
Pesan dari cerita ini adalah : cerita bohong lambat laun akan ketahuan juga.