Halaman

Singa dan Penasehatnya

Dahulu kala, singa yang memang bertabiat buruk, bertemu dengan seekor sigung yang juga bertabiat buruk dan suka bertengkar. Sigung tidak pernah kalah beradu mulut dengan semua binatang di hutan. Serigala, beruang,  bahkan singa tidak membuatnya takut. Bahkan, ia menjadi sangat kasar dan gegabah sehingga berkeliling hutan hanya untuk mencari gara-gara.

 Pada suatu hari ia bertemu dengan singa, dan baru beberapa kata saja, mereka berdua mulai bertengkar. Tanpa pikir panjang, singa mengangkat cakarnya yang besar untuk menghajar sigung berkelakuan buruk itu, berniat melemparnya ke kumpulan pohon mawar berduri. Tapi ia tidak berhasil memukulnya. Sigung itu melawannya lebih cepat, tentu saja dengan caranya sendiri. Singa tidak bisa melihat dan surainya basah berbau busuk. Dia sangat malu dan tidak pulang ke sarangnya selama tiga hari. Tapi bahkan tiga hari terlalu cepat baginya.

Pada pagi hari ketika ia kembali, pasangannya berdiri sejauh mungkin. Akhirnya, dengan memegangi hidung dengan sebelah cakarnya, ia menumpahkan kekesalannya.
"Kenapa kamu tidak berburu gajah saja, atau mengunjungi ibumu!" sarannya. "Sarang ini sekarang berbau busuk sekali." katanya dengan ketus. "Bukankah sudah kuberitahu berkali-kali. Jangan berkelahi dengan sigung! Kamu belum pernah menang melawannya."      
Ekor singa berkibas marah. "Aku si raja hutan!" ia berbalik marah, lalu mengaum keras keras untuk menunjukkan kehebatannya.
Pasangannya sekarang menutup hidungnya dengan dua cakarnya. Singa menatapnya dengan kesal dan kemudian melompat keluar sarang dengan langkah lebar.
Jika ia sedang kesulitan, biasanya ia akan memanggil tiga binatang untuk dimintai nasehat. Kali ini ia tidak yakin apa yang ia inginkan sebenarnya, tapi akhirnya ia tetap memanggil tiga binatang itu, yaitu beruang, serigala, dan rubah.
"Kawanku beruang," katanya. "Bisakah kamu memberitahuku apakah badanku berbau tidak enak?"
Beruang itu mengira singa ingin jawaban yang sebenarnya lalu menjawab dengan jujur.
"Kawanku singa," jawabnya. "Aku benci mengatakannya, tapi kenyataannya bau badanmu benar benar busuk. Buatku baunya..."
Tapi itu menjadi kata-kata terakhir yang beruang katakan. Singa yang marah besar menerjang dan mencabik-cabiknya menjadi serpihan kecil.
"Dan kamu, serigala!" katanya. "Apa yang kamu pikirkan. Kamu punya hidung yang tajam."
Serigala, yang tak mau bernasib sama seperti beruang, menjawab cepat. Dia yakin inilah jawaban yang diinginkan oleh singa.
"Tuanku," dia menjawab dengan suara yang manis, "ketika aku berdiri di sampingmu, yang aku pikirkan adalah harum madu dan bunga mawar. Bahkan jika tuan tidak memiliki kekuatan dan kepintaran seperti sekarang, anda pun bisa tetap menjadi pemimpin kita karena harumnya badanmu..."
Singa tak tahan lagi mendengarnya, dan serigala penjilat itu segera ia terkam. Yang tertinggal hanyalah rubah, singa menatapnya lalu mengulangi lagi pertanyaannya.
"Bicaralah, kawanku rubah!" perintahnya. "Apakah bau badanku tidak enak?"
Rubah itu lama tak menjawab karena terbatuk-batuk. Kemudian setelah menelan ludahnya, ia menjawab dengan suara parau.
"Sayang sekali, hamba tidak bisa menolongmu, tuan." jawabnya. "Aku sedang merasa demam, sehingga tidak bisa mencium bau apapun."
Jika terlalu berbahaya untuk bicara, diam adalah tindakan paling bijaksana.       

Terjemah bebas dari : The Lion and His Councillors, Richards Topical Encyclopedia. 1951

Pesan dari cerita ini adalah : kadang-kadang diam lebih baik daripada berbicara.