Kali ini mereka sudah amat lelah. Mata mereka nanar karena perut lapar. Seorang dari mereka berkata, "Ayolah kita berhenti dahulu. Kakiku lemas seperti agar-agar!" "Baiklah, kita makan dahulu di bawah pohon ek itu," jawab kawannya sambil menunjuk sebuah pohon ek di atas bukit di hadapan mereka. Satu-satunya pohon yang mereka lihat di padang rumput yang luas membentang ini.
Dengan susah payah mereka berjalan menanjak menaiki bukit. Setiba di bawah pohon segera mereka duduk melepas lelah dan membuka bekal. Bekal yang sedikit dan sederhana dengan cepat tandas. Dengan perut terisi mereka berbaring di bawah naungan pohon ek yang teduh. Mereka memandang langit biru bertaburan awan putih dan padang rumput yang luas seperti tak bertepi. Mereka bercakap-cakap dengan santai.
"Lihatlah pohon ek ini," kata si pengelana.
"Ada apa dengan pohon ini?" tanya kawannya.
"Tidak apa-apa, dan memang itulah maksudku! Tak punya apa-apa! Pohon ek ini tak berguna," kata si pengelana. "Dia tidak menghasilkan buah untuk dimakan. Tidak ada gunanya kita menanam pohon ek..."
Pohon ek sedari tadi diam mendengarkan percakapan mereka, tapi mendengar dirinya disebut tak berguna langsung memotong perkataan si pengelana.
"Dasar kamu manusia tak tahu diuntung! Beraninya kamu berteduh di bawah naunganku lalu mengata-ngatai aku tak berguna! Dasar tak tahu berterimakasih!" seru pohon ek.
Terkejut mendengarnya, dua pengelana itu melompat dan lari tunggang-langgang terguling-guling menuruni bukit.
Terjemah bebas dari The Traveller and the Plane-Tree, www.aesopfables.com
Pesan dari cerita ini : banyak orang tidak mensyukuri apa yang mereka peroleh, padahal mereka telah mendapatkan hal yang baik bahkan yang terbaik.