Suatu hari seorang saudagar kaya pindah ke desa itu. Ia menempati rumah besar di samping kediaman si tukang samak yang sederhana. Dan segeralah ia menyesal tinggal di rumah barunya. Baru sehari ia tinggal, ia tidak tahan dengan bau busuk kulit-kulit mentah. Baunya benar-benar busuk, baunya seperti ada makhluk mati yang tergeletak di atap rumahnya. Sebagai orang kaya, tentunya bukan ia yang harus mengalah, begitu pikir saudagar itu. Tidak ada kata lain, si tukang samak harus pindah dari rumahnya! Esok harinya ia mendatangi rumah tukang samak.
"Hai Tukang Samak! Aku tetangga barumu dan aku tidak tahan dengan bau busuk dari rumahmu ini. Segeralah kamu pindah dari sini!" saudagar kaya berucap tanpa basa-basi.
Tukang samak melongo. Sudah seumur hidup ia tinggal di rumah itu, malah sudah turun temurun keluarganya tinggal di desa ini, namun tiba-tiba ada seseorang yang mengusirnya pergi. Seseorang yang baru sehari menjadi tetangganya! Tukang samak itu melihat saudagar itu dari ujung kaki hingga kepala. Wah, aku berurusan dengan orang kaya begitu pikirnya, dan aku tak mau mendapat kesulitan karenanya. Tukang samak akhirnya menjawab perlahan, "Baik Tuan! Tapi ijinkan aku menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku ini dahulu. Masih banyak kulit mentah yang harus kuolah dulu. Jika sudah habis maka aku akan segera pindah."
"Bagus! Kamu cukup pandai untuk tidak macam-macam denganku! Aku akan beri kamu seminggu," saudagar kaya berkata dengan ketus sambil menjepit hidungnya dengan jari 4 jari.
Beberapa hari kemudian, saudagar kaya menemui lagi tukang samak. Ia mengingatkan tukang samak agar segera pindah dari rumahnya yang berbau busuk itu. "Tapi kulit-kulit mentahku masih ada untuk disamak, tuan saudagar. Aku minta seminggu lagi," pinta tukang samak. "Baiklah!" saudagar kaya mengabulkannya sambil menjepit hidung dengan 3 jari.
Seminggu kemudian tukang samak belum juga pindah dari rumahnya. Saudagar itu kembali memperingatkannya, tapi lagi-lagi masih ada kulit mentah yang belum disamak dan tukang samak meminta kelonggaran lagi. "Baiklah!" seru saudagar kaya sambil menutup hidung dengan 2 jari.
Kulit mentah si tukang samak sepertinya tak habis-habis. Waktu berlalu, satu minggu menjadi dua minggu, dua minggu menjadi tiga minggu, tiga minggu menjadi sebulan. Saudagar kaya tak lupa mengingatkan, kali ini dengan berkacak pinggang.
Seperti biasa si tukang samak sudah menunggu kedatangan si saudagar kaya. Kali ini bahan kulit mentahnya sudah tinggal beberapa lembar, ia tak punya alasan lagi untuk menunda kepindahannya. Ia menunggu kedatangan saudagar dengan cemas. Tapi hari berlalu dan saudagar tak datang juga. Sore harinya setelah selesai menyamak, tukang samak penasaran dan mengunjungi tetangganya itu. Saudagar kaya sedang berada di halaman, dia sedang menikmati udara sore.
"Selamat sore, Tuan Saudagar!" kata tukang samak dengan sopan.
"Selamat sore, Tukang Samak! Aku sedang menghirup udara segar sore ini!" seru saudagar. "Seminggu ini aku senang bau busuk dari rumahmu lama kelamaan menghilang. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu dan tak usah pindah," katanya, tangannya melambai senang.
Tukang samak tersenyum. Ia berterimakasih dan tidak bilang apa-apa lagi. Ia tahu bau busuk pekerjaan menyamaknya tidak hilang sama sekali, ...hanya saja hidung saudagar kaya itu sekarang sudah terbiasa dengan baunya.
Terjemah bebas dari The Rich Man and the Tanner, www.aesopfables.com
Pesan dari cerita ini : hal apapun, yang buruk maupun yang baik, jika dibiasakan akan menjadi kebiasaan. Tentunya yang kita inginkan tentu kebiasaan baik, maka biasakanlah melakukan sesuatu hal yang baik.