Halaman

Mengenal Tuhan Bag.1

Pikiran saya terlalu sederhana untuk bisa memahami banyak hal di dunia ini. Apalagi jika harus mengerti sesuatu yang tidak terjangkau panca indera. Tapi aku terlalu sombong jika harus percaya buta begitu saja. Beriman tapi tidak mengerti.

Kapan aku mulai mengenal Tuhan? Sebuah kilas balik ke masa yang lalu.

Orangtua memperkenalkan aku pada kebaikan. Ayah dan Ibu mengenalkan aku pada budi pekerti, sebuah pelajaran kebaikan turun temurun. Sebenarnya ayahku agak cuek untuk masalah pendidikan non formal ini, karena beliau lebih sering ada di pedalaman negeri ini, menjelajah hutan belantara sebagai tukang insinyur geologi. Pelajaran tentang budi pekerti aku dapatkan dari ibuku. Ibu mengenalkan aku dengan kata-kata sederhana tentang kebaikan. Begitu sederhana hingga aku selalu ingat hingga kini. Beliau mengajarkan kearifan,
"Jadi orang baik! Jadi laki-laki itu jangan berbuat 5M : Maen, Minum, Madon, Maling. Dilarang maen judi. Dilarang minum minuman keras. Dilarang madon "maen wadon", alias main perempuan. Dilarang maling, mengambil milik orang lain. Dilarang muja, meminta pada makhluk gaib" 
Itu ajaran ibu yang serasa masih terngiang-ngiang di telingaku. Yang berulang kali terucap dari mulut beliau, yang paling aku ingat. Dari merekalah aku belajar tentang kebaikan, dan dari mereka pula aku mengenal agama. Ayahku menyediakan dananya, Ibu menyuruh aku pergi sekolah dan mengundang guru mengaji ke rumah.

Ayah dan ibu kurang tahu tentang ilmu agama, tapi mereka ingin aku menjadi orang baik. Karena itulah Ibu mengundang guru mengaji dan menyuruh aku pergi ke madrasah setelah pulang sekolah. Aku diajar mengeja kitab suci. Di sekolah, mau tidak mau, aku belajar mata pelajaran agama. Aku diajarkan tentang tata cara beragama. Diajarkan mana yang baik dan mana yang buruk. Aku belajar tata cara ibadah menurut agamaku.
Hingga tingkatan tertentu, ayah ibu, guru mengaji, madrasah, dan sekolah telah berhasil mendidik aku. Aku anak baik berbudi pekerti yang menurut ajaran Ibu. Aku anti 5M. Guru mengaji berhasil membuatku melek huruf kitab suci. Madrasah dan sekolah berhasil mendidik aku melek tata cara beragama. Aku anak baik, berbudi pekerti, yang taat beribadah. Tapi entah bagaimana, aku merasa belum mengenal tuhan.

Aku punya kecenderungan berbuat baik, seperti semua orang yang lain. Semua orang cenderung berbuat baik dengan berbagai motivasinya masing-masing. Aku cenderung taat pada orangtua, cenderung taat peraturan sekolah, cenderung taat agama, peraturan-peraturan tuhan. Tapi apa alasanku sebenarnya berbuat baik? Orang berbuat pasti ada motifnya, bukan? Untung rugi. Hadiah hukuman. Bebas vs bui. Reward & punishment. Sayang benci. Pahala dosa. Surga neraka.

Aku orang yang rasional, jadi sepantasnya semua seharusnya bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dengan hukum "untung rugi", motifku paling mudah dijelaskan. Jadi anak nakal itu rugi, sedikit-sedikit kena omel orangtua, maka aku menjadi anak baik. Melanggar hukum rentan masuk bui, lebih untung jika jadi orang baik taat hukum. Melanggar aturan lalu lintas besar resikonya terkena denda tilang atau malah kecelakaan, makanya aku menjadi pengemudi yang baik.
Aku seorang yang rasional. Bagiku rugi sedikit tidak mengapa, asal mendapatkan untung lebih besar di kemudian hari. Tidak jajan hari ini tak mengapa, nanti hasil tabungannya aku belikan komik kesukaan. Tidak mengapa begadang semalaman asalkan besok lulus ujian. Tidak mengapa beribadah wajib lima kali sehari, menahan lapar satu bulan penuh, asalkan masuk surga di kemudian hari.
Aku berpikir rasional, bahkan dalam urusan ibadah. Semua ditimang-timang oleh akal, dipikir-pikir dibolak-balik, bahkan untuk hal yang tidak terukur, tidak bisa diukur, tidak ada cara membuktikannya, seperti keberadaan surga dan neraka. Dalam urusan ini, bagiku lebih rugi jika orang tidak percaya surga dan neraka. Anggaplah surga dan neraka tidak ada dan setelah mati seluruh urusan selesai. Kerugianku adalah tidak memanfaatkan masa hidup di dunia untuk bersenang-senang seenak udel sendiri. Sebaliknya, jika ternyata surga dan neraka itu nyata dan setelah mati ternyata urusan belum selesai, bagaimana ruginya aku jika semasa hidup aku bertindak seenak udel lalu setelah mati dicelupkan ke dalam neraka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Ruginya tidak terkira, benar-benar bangkrut!
Jadi dalam hal ibadah pun aku berbuat dengan hukum untung rugi yang rasional, penuh dengan pamrih. Bandingkan dengan kisah ini, laporan pandangan mata dari 1400 tahun yang lampau : Mughirah bin Syu’bah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bangun untuk shalat sehingga kedua telapak kaki atau kedua betis beliau bengkak. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?’ Lalu, beliau menjawab, ‘Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?’”
Bagaimana bisa dibandingkan perbuatanku yang penuh hitung-hitungan dengan keikhlasan hamba tuhan yang paling mulia, yang beribadah kepada tuhan karena rasa syukur. Beribadah bukan karena imbalan.  Pendidikan mengajarkan aku bagaimana cara ibadah, persis seperti yang diajarkan sejak 1400 tahun lampau. Tapi aku ibadah karena logika sederhana untung rugi tentang surga dan neraka. Bagaimana aku bisa ikhlas, kalau aku tidak mengenal Tuhan?

...but then god works in a mysterious way, ...in a most Hollywood way.

Referensi :
http://haditsbukhari.net

Kembali ke halaman utama