Halaman

Kenapa Aku Tidak Dapat Hidayah? Bag.1

Saya ingin bercerita tentang masa lalu, belum terlalu lama tapi sudah samar-samar dalam ingatan. Terlalu sayang untuk dibiarkan mengendap menjadi kerak. Menuliskannya membantu mengaduk isinya, mengapungkan memori itu ke permukaan, dan mudah-mudahan menjadi bermanfaat. 

Jam pulang kantor sudah lama terlewati, hari sudah menjelang malam, tapi aku masih saja asyik beradu argumentasi. Rekan kerjaku, anak buahku yang gila kerja duduk manis bekerja di pojok ruangan, mungkin mendengarkan ocehan yang sebagian besar keluar dari mulutku. Kami bertiga saja yang tertinggal dalam ruangan padat terisi komputer kerja.
Topik debatnya sederhana tapi panas, panas untukku. Bukan debat tentang pekerjaan. Waktunya sudah cukup menyita 8 jam waktu kami hari itu. Topik masalahnya adalah, "Kenapa Aku Tidak Dapat Hidayah?". Nah, siapa di antara kami bertiga yang tidak dapat hidayah?
Aku? Aku yakin aku orang yang baik. Tidak minum minuman keras. Tidak main perempuan. Tidak berjudi. Tidak mencuri. Dan juga sebaliknya. Tidak begitu religius. Tidak shalat tepat waktu. Tidak pandai berdoa. Tidak rajin mengaji. Tidak menabung untuk berhaji. Hapalan hanya 11 surat pendek, setara dengan rata-rata hapalan anak TPA umur 6 tahun. Jadi itulah aku menyimpulkan diriku sendiri untuk sementara : Orang baik. Tak lebih tidak kurang.
"Baik" itu, masih menurut pendapatku, hampir setali tiga uang dengan "taat aturan". Anak baik artinya anak yang taat aturan orang tua. Murid baik pasti ikut perintah guru. Warga yang baik pastinya ikut aturan main di kampungnya. Karyawan yang baik adalah yang turut arahan atasan. Pengemudi yang baik pasti taat aturan lalu lintas. Menteri yang baik selalu bilang, "...berdasarkan petunjuk dari bapak presiden...". Jadi kata kuncinya adalah "taat aturan", "turut atasan", "manut orangtua", "ikut petunjuk", "sesuai bimbingan" dan lain-lain yang sejenisnya.

Nah, ternyata di sinilah masalahnya. "Baik" itu, menurutku, ternyata ada tingkatannya. Aku adalah karyawan yang "sangat baik". Kenapa? Aku tahu karena setiap akhir tahun aku dinilai secara terbuka oleh pimpinan. Aku anak yang "baik" karena orangtua mengatakannya sendiri di hadapanku. Dan aku pengemudi yang "cukup baik". Kenapa? Dari puluhan aturan lalu lintas, aku sadar pernah melanggar beberapa aturan (ringan). Aku pernah parkir di tempat terlarang, tidak membawa SIM saat menyupir, menyerobot lampu kuning, naik motor tidak pakai helm dan lain sebagainya.
Tapi yang paling fatal, yang membuatku sewot, adalah akhirnya aku sadar bahwa penilaianku pada diri sendiri salah total. Aku ternyata adalah "orang religius yang tidak baik". Dan entah bagaimana itu rasanya jauh lebih buruk dibandingkan "orang baik yang tidak religius".
 Orang religius yang tidak baik, masih menurut pendapatku, adalah orang yang tidak "taat aturan". Aturan yang mana? Aturan siapa? Ya, tentu saja aturan Tuhan. Kalau mau lebih dibuat rumit lagi, "tidak baik" itu ada dua macam. Pertama : "tidak tahu aturan" alias berbuat tidak sesuai aturan karena tidak tahu, tidak mengerti ada aturannya. Kedua : "tidak mau diatur" alias walaupun tahu ada aturannya tapi tetap dilanggar. Nah, lebih fatal lagi, ternyata aku tipe "tidak baik" yang kedua alias "tidak mau diatur".
Singkatnya aku saat itu menyadari aku adalah orang yang "tidak mau diatur Tuhan".  Dan entah bagaimana itu rasanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan "tidak tahu aturan Tuhan".
Sedari kecil aku mendapat didikan untuk mengetahui aturan-aturan Tuhan (walau mungkin hingga sekarang pun tidak tahu semuanya). Belajar mengaji, ikut madrasah sepulang sekolah, belajar budi pekerti di sekolah, membaca buku agama, dll. Tapi mengetahui tidak sama dengan mengerjakan. Perlu upaya yang lebih untuk mengerjakannya, apalagi jika tidak ada paksaan.
Mungkin inilah maksudnya dari sebuah ayat favorit ucapan para dai "Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat...".
Kembali ke cerita. Hidupku saat itu sedang baik-baik saja (yang berarti cukup sesuai dengan keinginanku). Mendekati lima tahun sudah aku mengais rezeki di sini, di sebuah perusahaan perdagangan. Penghasilan memadai, anak buah berdedikasi, pimpinan menghargai, istri mengasihi, anak menyayangi. Di sini terlarang berbuat curang, dan tidak berlaku curang adalah budaya perusahaan. Hampir ideal, kecuali.... omset perusahaan 20% lebih berasal dari khamr. Barang memabukkan, yang sayang disayang, dilegalkan oleh undang-undang untuk dijual-belikan. Barang yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya, yang bahkan orang yang membawanya saja dilaknat oleh utusan Tuhan.
Di sinilah aku terombang ambing selama lebih dari empat tahun. Jika aku korban kapal karam yang terapung di samudra, empat tahun tak terselamatkan lebih dari cukup untuk membuat tubuhku tinggal kerangka di dasar lautan. Empat tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk pencerahan. Tapi itulah yang terjadi. Tiba-tiba di malam itu, seperti halilintar, aku minta "hidayah", minta diberi petunjuk ke suatu jalan yang benar di hadapan dua saksi yang masih setia mendengar ocehanku.
"Tidak ada paksaan untuk agama..." Semuanya tergantung dirimu, ...kumaha maneh! ...sakarepmu! ...up to you!  "...sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..."  
Terus terang aku gamang, penuh ketakutan. Meninggalkan pekerjaan yang mapan artinya tidak punya gaji, tidak punya status. Tidak ada gaji artinya tidak punya uang. Tidak punya uang, anak istri makan apa? Pakai apa bayar asuransi? Apalagi cicilan rumah belum lunas. Selama empat tahun semua pikiran itu menjadi hantu, tidak kasat mata tapi serasa menggelayut di pundak dan semakin lama semakin berat.
Tak berapa lama setelah hari itu, aku menyodorkan surat pengunduran diri (berjuta terimakasih untuk istriku tersayang yang telah mendukungku). Beribu terimakasih juga untuk kawan-kawan yang telah membujukku berbuat sebaliknya, dan para pimpinan yang malah menawarkan posisi sesuai harapanku (dulu). Terimakasih atas penghargaan mereka untukku, tapi sekali kata terucap pantang aku tarik kembali. Hanya satu yang aku sesali hingga hari ini, karena saat itu aku menolak tidak dengan rasa rendah hati, tapi dengan hati penuh kesombongan merasa berbuat benar. Ya Tuhan, ampunilah!
Tanggal 1 Hijriah, aku resmi mengundurkan diri, melangkah percaya diri menuju ketidakpastian. Semoga aku menjadi contoh sukses orang yang hijrah, bukan contoh yang gagal. Masa depan ada di hadapan, sudah saatnya untuk memulai hidup yang baru.

Yang masih tertatih-tatih,
Raqim     

Referensi :
http://www.alquran-indonesia.com    
http://www.eramuslim.com

Kembali ke halaman utama