Peperangan kemudian usai. Mereka sekarang hidup dalam damai. Serdadu dan kudanya lalu pulang ke kampung halaman. Akan tetapi kedamaian tidak berarti hidup yang lebih baik untuk si kuda. Sang serdadu sekarang memperlakukannya dengan sangat buruk. Si kuda hanya diberinya sedikit makanan saja, hanya cukup agar ia tidak merasa lapar. Ia harus membawa beban yang berat, kayu dari hutan memenuhi punggungnya setiap pagi dan ia melakukan pekerjaan berat lainnya di sepanjang hari.
Tapi perdamaian ternyata tidak berlangsung selamanya. Perang kemudian berkecamuk lagi di negeri itu. Terompet perang berkumandang bersahut-sahutan. Serdadu harus kembali ke medan perang. Ia segera mengenakan baju besinya dan bergegas memasangkan pelindung besi untuk kudanya. Tapi apa harus dikata, kuda itu ambruk tidak kuat menanggung beban baju besinya. Kekurangan makan dan kerja keras telah menguras seluruh tenaganya.
"Tuan," kata kuda itu dengan lemah. "Tampaknya tuan harus pergi berperang dengan berjalan kaki."
Serdadu itu tampak sangat marah, mukanya merah padam. Tapi si kuda kembali berkata, "Tuan telah menjadikan aku dari kuda menjadi keledai. Bagaimana mungkin aku bisa cepat berubah lagi dari seekor keledai pembawa beban menjadi kuda perang yang gagah berani."
Serdadu itu termenung, tampak raut mukanya penuh penyesalan. Ia kemudian melangkah pergi berjalan kaki, pundaknya memanggul baju besi, menuju medan perang yang jauh.
Terjemah bebas dari : The Horse and His Rider, www.aesopfables.com
Pesan dari cerita ini adalah : kebiasaan yang kita lakukan, baik atau buruk, lambat laun akan mengubah sifat kita.