Halaman

Rubah yang Kehilangan Ekor

Siang hari itu seekor rubah muda berjalan-jalan di hutan tanpa tujuan ketika tiba-tiba ekornya terjepit perangkap besi. Trap! Dia mencoba melepaskan ekornya, tapi semakin ia mencoba, semakin kuat perangkap itu menjepit ekornya.
Hari sudah hampir malam, dan dia merasa mendengar suara anjing pemburu di kejauhan. Semakin lama, semakin yakin ia mendengar suara anjing, dan dia tahu bahwa pemburu sedang mendekat untuk melihat hasil tangkapan perangkap yang ia pasang.
Si rubah sial itu berpikir cepat. Dia harus memilih, apakah ia akan mati oleh pemburu itu atau ia harus kehilangan ekornya yang indah. Waktunya semakin sempit. Mungkin ia tidak akan selamat. Ia lalu menarik dan berguling-guling sehingga akhirnya ia berhasil lepas, meninggalkan ekornya yang indah dalam perangkap. Tepat sebelum anjing-anjing pemburu itu tiba, ia berlari tersaruk-saruk ke dalam hutan. Dia berlari melintasi sungai agar jejaknya tidak diikuti oleh mereka.
Rubah itu sangat bersyukur karena telah selamat dari perangkap sehingga untuk beberapa lama ia tidak begitu merasa kehilangan ekornya yang indah. Tetapi ketika ia sedang minum di sungai yang jernih, ia menatap dirinya dan menyadari kenyataan pahit. Ekornya yang indah telah hilang. Betapa aneh dan jeleknya ia tampak sekarang. Dia menggelengkan kepalanya dengan sedih. Dia membayangkan betapa binatang lain, terutama sesama rubah, akan menertawakannya. Dia lalu berlari ke hutan yang sepi dan bersembunyi di balik semak-semak yang rimbun.
Tetapi seperti layaknya seekor rubah, ia panjang akal. Setelah lama berpikir, ia merasa mendapatkan ide yang cemerlang. Ia sangat yakin dengan idenya itu.

Pagi-pagi sekali ia berjalan menuju sekumpulan rubah, kumpulan dan sepupunya. Dan sebelum mereka sempat menanyakan apa yang terjadi dengan ekornya, ia lalu berpidato.
"Kalian tentu tidak bisa membayangkan bagaimana enaknya dan agungnya kita tanpa punya ekor," katanya. Dia kelihatannya meyakinkan dan penting. "Aku tidak tahu kenapa aku bisa tahan dengan ekor yang panjang dan berat itu selama ini. Sekarang aku merasa sangat bebas dan ringan tanpanya. Benar-benar sensasi yang luar biasa!"
"Tapi apa yang terjadi dengan ekormu?" tanya seekor rubah dengan terkejut.
"Apa yang terjadi?" ulang si rubah muda itu. "Tentu saja aku memotongnya! Ekor itu terlalu panjang dan terlalu berat, dan selalu terseret seret di tanah membawa debu. Aku untuk pertama kalinya merasa sangat nyaman, dan aku menyarankan agar semua mengikutiku membuang ekor konyol itu selamanya!"
"Dan kamu mengira kita harus percaya bahwa kamu benar-benar memotongnya?" seekor rubah tua bertanya dengan pelan.
"Kenapa tidak?" jawab si rubah muda dengan nada tinggi. "Benda yang mengganggu itu selalu saja tersangkut pada sesuatu, dan ..."
Pada saat itu nenek rubah yang sudah tua tertawa terbahak-bahak. Dan dengan sekejap semua rubah yang lain tertawa bersamanya, semakin keras dan semakin keras. Rubah muda itu tidak tahan lagi, dan jika ia masih punya ekor, sudah pasti ekornya akan ia jepit diantara kakinya ketika ia berlari pergi masuk ke dalam hutan.
"Penderitaan," kata seekor rubah tua yang bijak - walaupun yang lain masih tertawa terbahak-bahak dan tidak mendengarnya - "Orang yang menderita senang ditemani."


Terjemah bebas dari : The Fox Who Lost Her Tail, Richards Topical Encyclopedia. 1951

Pesan dari cerita ini adalah : janganlah berbohong hanya untuk menutupi kekurangan kita.