"Aha!" ia bernafas pelan sambil menatap ke depan. "Ada di mana dia?"
Segera ia tahu di mana ayam itu berada. Ayam jantan itu tinggal di pertanian yang pernah ia lewati berkali-kali sebelumnya. Hanya memikirkan ayam dan bebek-bebek yang gemuk sudah membuatnya menelan ludah dengan rakus. Tapi ekornya bergoyang goyang kesal. Ia sudah mengelilingi pertanian itu sebelumnya, tetapi pertanian itu dipagari dengan rapat, bahkan seekor rubah yang paling pintar dan lapar pun tidak bisa masuk ke dalamnya.
"Aku akan lihat lagi saja lah, sekali lagi!" dia memutuskan, "Kalau kalau saja ..."
Ia kemudian menuruni bukit, melintasi sungai kecil, dan mengendap-endap di bawah pohon tidak jauh dari pagar. Pertanian itu tepat di hadapannya. Ketika ia baru saja akan merayap lebih dekat lagi, ayam jantan itu berkokok lagi. Bulu-bulunya berdesir karena gembira. Ayam itu tidak di dalam pertanian! Ayam jantan itu bertengger di atas dahan tepat di atasnya, memang tidak terjangkau, tapi tak akan lama, pikir si rubah. Setiap rubah yang tidak bisa merayu seekor ayam jantan turun dari atas pohon, tidak layak dapat ayam untuk makan pagi. Tanpa membuang waktu, rubah itu lalu berbicara.
"Wah, wah. Ternyata kawan baikku!" ia memanggil ayam jantan itu. "Tak ada yang ingin kutemui selain engkau. Turunlah, turun kemari dan berjabat tangan. Kita harus saling sapa seperti yang dilakukan semua sahabat lama lakukan."
"Tentu saja aku mau," kata si ayam jantan. "Tapi ada satu hal. Ada seekor binatang berkaki empat yang suka membunuh ayam lalu memakannya. Dan jika aku sampai dimakan, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."
"Wah wah wah!" kata si rubah. "Pasti kamu belum mendengar kabar baik ini. Mulai sekarang semua binatang adalah sahabat dan hidup berdampingan dalam damai. Jadi turunlah, sepupuku ayam! Mari kita rayakan hari bahagia ini bersama-sama."
Ayam jantan bingung harus berbuat apa. Jika ia ingin kembali ke pertanian, ia harus turun ke tanah. Tapi rubah itu masih di sana.
Tapi dia punya akal. Sebelum ia menjawab, ia lalu meregangkan tubuhnya dan berdiri di atas jari-jarinya, seolah-olah memandang ke arah bukit di kejauhan. Dia tidak bicara apa pun, tetapi ia menjulurkan lehernya sepanjang mungkin.
Rubah selain punya sifat licik juga punya sifat ingin tahu yang besar. Ia penasaran apa yang sedang terjadi.
"Apa yang sedang kamu lihat?"
"Oh tidak ada! Kamu pasti tidak tertarik!" jawab si ayam jantan. "Hanya sekumpulan anjing pemburu sedang berlarian menuruni bukit. Kelihatannya mereka akan ke sini. Oh, alangkah cepatnya mereka berlari!"
Rubah itu segera bersiaga.
"Ah!" teriaknya. "Ingatanku buruk sekali! Pagi ini aku berjanji akan berburu kelinci dengan..., eh maksudku, aku mau mengunjungi sepupuku. Maaf."
"Tetapi tunggu sebentar," kata ayam jantan itu, ia melompat ke dahan yang lebih rendah. "Sebentar lagi aku akan turun ke tanah, dan kita bisa bercakap-cakap."
Tapi rubah itu sudah memilih jalan untuk melarikan diri.
"Tentunya kamu sudah tidak takut lagi dengan anjing pemburu. Bukankah seperti katamu tadi, semua binatang sudah berdamai sekarang?" kata si ayam jantan.
"Tentu saja tidak," jawab si rubah sambil berlari, "Tapi mungkin saja mereka belum mendengar kabar itu."
"Rubah pasti sangat bodoh!" kata si ayam jantan sambil merapikan bulu-bulunya. "Itulah yang ia dapatkan jika merendahkan kemampuan ayam!"
Terjemah bebas dari : The Cock and the Fox, Richards Topical Encyclopedia. 1951
Pesan dari cerita ini adalah : jika kita pintar, tidak akan mudah diperdaya oleh orang lain.